Monday, January 30, 2012

TOMANURUNG


Tomanurung secara bahasa berarti “orang yang turun atau menitis (dari langit)”.
Dalam masyarakat Sulawesi Selatan Tomanurung diyakini sebagai manusia keturunan dewa yang berasal dari Botinglangi (Kahyangan) yang menitis ke bumi. Asal usulnya silsilahnya tentu saja tidak ada, karena dia hanya tiba-tiba menjelma dan hadir di tengah-tengah masyarakat.
Tomanurung juga mempunyai kemampuan atau kesaktian yang diatas kemampuan rata-rata manusia. Dan memiliki kebijaksanaan yang tinggi.

Kedatangan Tomanurung biasanya diawali dengan terjadinya zaman kekacauan atau zaman kegelapan. Yaitu zaman dimana biasanya terjadi perang saudara yang berkepanjangan, keadaan masyarakat yang kacau dan berlakunya hukum rimba dimana yang kuat cenderung menindas yang lemah. Keadaan ini berlangsung selama bertahun-tahun yang dalam kitab Lontara diistilahkan sebagai zaman “sianre bale” yang artinya zaman dimana manusia itu laksana ikan di laut yang saling makan memakan.

Di Sulawesi Selatan zaman "Sianre Bale" itu berlangsung sekitar pertengahan abad XV. Yaitu dimulai sejak menghilangnya keturunan terakhir Sawerigading yang bernama La Tenritatta Pajung MasagalaE. Sawerigading sendiri adalah seorang Tumanurung juga.
Zaman Sianre Bale ini berlangsung selama tujuh generasi dan berakhir dengan datangnya Tomanurung di berbagai tempat. Tomanurung inilah yang kemudian menata kehidupan masyarakat di daerah-daerah tempat kedatangannya.

TOMANURUNG DI BERBAGAI DAERAH

Di Kerajaan Luwu, turun Tomanurung yang bernama Simpurusiang yang datang melalui seruas bambu, Simpurusiang selanjutnya diangkat menjadi raja di Kerajaan Luwu dengan gelar Pajung (Yang Berpayung).
Di Kerajaan Bone turun Tomanurung di daerah Matajang bergelar Mata SilompoE’ yang kemudian kawin dengan Tomanurung ri Tonro bernama We Tenri Awaru, selanjutnya Tomanurung ri Matajang ini diangkat sebagai Raja Bone pertama dengan gelar Petta Mangkau (Yang Bertahta).
Di Kerajaan Gowa di sebuah daerah yang bernama Taka’bassia, turun seorang Tomanurung Baine (Wanita) yang kemudian menikah dengan Karaeng Bayo cucu Puang Tamboro’langi Tomanurung ri Kandora Tana Toraja. Puteri Tomanurung ini lalu dilantik menjadi raja di Kerajaan Gowa dengan gelar Sombayya (Yang Disembah).
Di Soppeng turun Tomanurung di Sekkanyili’ bernama La Temmamala. Di Sidenreng turun Tomanurung di Bulu’lowa, di Sawitto turun Tomanurung di Akkajeng dan di Pare-pare turun Tomanurung di Bacukiki yang bernama La Bangengnge.
Demikian pula daerah-daerah lainnya semua masa “sianre bale”nya diakhiri dengan kedatangan Tomanurung.

TOMANURUNG DI MAROS
Di Maros, pada masa “Sianre Bale”, kehidupan masyarakat sangat kacau, tanaman tidak ada yang membuahkan hasil, penyakit menular mewabah di mana-mana, yang kelihatan keadaan ini berlangsung dalam suasana yang runyam sebab tiada tanda-tanda kapan akan berakhir.

Suatu hari di sebuah wilayah perkampungan bernama Pakere, ketua kaum yang bergelar Gallarang Pakere, yaitu pemimpin masyarakat di daerah tersebut memimpin orang-orang yang masih memiliki semangat hidup untuk memohon kepada Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa) agar mereka diberi seorang pemimpin yang dapat menghantar mereka keluar dari zaman kegelapan itu kepada zaman yang lebih baik. Tidak pernah bosan mereka bermunajat dengan tiada memilih waktu, pagi, siang dan malam begitu seterusnya.

Hari berganti hari, bahkan minggu berganti minggu hingga pada suatu ketika turun hujan yang sangat lebat, kilat dan petir meraung-raung membelah angkasa. Langit hitam kelam seakan tidak tertembus cahaya matahari . Keadaan seperti ini berlangsung selama sepekan. Paniklah penduduk Pakere, disangkanya adzab Dewata justru datang untuk memusnahkan kehidupan mereka. Mereka akhirnya jadi pasrah, seakan tak berdaya melihat kemurkaan alam pada saat itu.
Namun tanpa mereka duga, disaat mereka pasrah menerima apa yang akan terjadi, hujan justru tiba-tiba berhenti, langit berubah cerah dan terang benderang. Sinar Matahari menyengat seakan tak pernah terjadi apa-apa, tanah kering dan tak ada genangan air atau tanah becek berlumpur akibat hujan. Dalam keheran-heranan, penduduk keluar dari rumahnya masing-masing dan pada saat seluruh penduduk keluar, tampak pula secara tiba-tiba dari kejauhan di tengah-tengah sebuah padang berdiri sebuah Saoraja (Istana) yang sangat indah dan besar. Entah siapa yang membangunnya dan sejak kapan berdirinya, sebab sebelumnya di tempat di mana saoraja itu berdiri hanyalah sebuah padang yang ditumbuhi ilalang liar, tempat penduduk menggembalakan ternaknya.

Dengan dipimpin oleh Gallarang Pakere penduduk serentak bergerak menuju ke sana. Betapa herannya mereka semua ketika melihat di depan sapana (tangga istana/saoraja) tersebut, seorang lelaki muda berwajah tampan bersih dan berwibawa duduk di atas sebuah kursi bambu. Badannya keras berotot, di kepalanya bertengger sebuah lingkayo (semacam mahkota) terbuat dari emas, pakaiannya merah menyala berhias kalung garuda di dadanya. Di kedua tangannya melilit sepasang gelang berbentuk naga yang juga terbuat dari emas. Di pinggang bagian depan terselip sebilah keris berhulu emas dan bertatakan permata aneka warna. Di pangkuannya tersandar sebilah alameng (kalewang) yang gagangnya terbuat dari kayu hitam mengkilat, warangkahnya terbuat dari kayu cendana berlurik kulit harimau. Tatapannya tajam memancarkan kewibawaan, namun kelihatan bibirnya tersungging penuh kharisma melihat penduduk berdatangan mendekat di depannya.
Menyembahlah Gallarang Pakere diikuti oleh semua yang menyertainya. Setelah disuruh bangkit, Gallarang Pakere lalu bertanya tentang siapakah dirinya, lalu dijawab bahwa dirinya adalah seorang Tomanurung. Gallarang Pakere lalu kembali menyembah dan memohon perkenaannya untuk menetap dan bersedia diangkat sebagai raja yang memimpin mereka dalam bermasyarakat. Maka terjadilah dialog yang merupakan kontrak perjanjian antara Gallarang Pakere atas nama seluruh rakyatnya dengan Tomanurung itu, disepakatilah bahwa Tomanurung di Pakere diangkat menjadi raja dengan gelar KARAENG LOE RI PAKERE, gelar yang dipilihnya sendiri.

Sejak kedatangan Karaeng LoE ri Pakere kehidupan rakyat berubah total. Peraturan hidup kemasyarakatan mulai ditegakkan. Mereka diwajibkan saling menghormati hak azasi masing-masing, tidak lagi saling merampas seperti keadaan sebelumnya, pertanian menjadi subur dan memberi hasil yang melimpah ruah.
Karaeng LoE ri Pakere sangat rajin memimpin rakyatnya mengolah sawah dan ladang. Diberinya petunjuk cara menanam dan memilih bibit tanaman yang baik. Karaeng LoE ri Pakere benar-benar menciptakan tatanan hidup masyarakat secara teratur sehingga rakyat hidup sejahtera aman dan sentausa.

Pada awalnya wilayah kekuasaan Karaeng Loe ri Pakere hanyalah meliputi Kampung Pakere, Banyo, Rumbia dan sekitarnya. Selanjutnya setelah peran dan kemampuan Karaeng Loe ri Pakere memimpin rakyat dan memajukan kerajaannya, maka banyaklah ketua-ketua kaum/kepala-kepala kampung (Gallarang/Matowa) yang datang untuk mengabdi kepadanya sekaligus memaklumkan wilayahnya sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Karaeng LoE ri Pakere, sehingga pada akhirnya menjadi luas dan berkembang pesat. Berita itu tentunya membias ke sekitar wilayah kerajaan Karaeng LoE ri Pakere, yaitu sampai ke Kerajaan Bone, Gowa dan Polongbangkeng.
Akhirnya Karaeng LoE ri Pakere menjalin hubungan persahabatan dan tidak saling menyerang dalam bentuk traktak perjanjian tertulis antara Karaeng LoE ri Pakere dengan I Daeng Manguntungi Karaeng Tumapa’risi Kallongna (Raja Gowa IX), La Olio Bote-e (Raja Bone VI) dan Karaeng LoE ri Bajeng (Raja Polongbangkeng I). Maka sejak kejadian itu terciptalah sebuah kerajaan yang cukup ternama di Maros di bawah pemerintahan Karaeng LoE ri Pakere.
Naskah perjanjian yang dilakukan oleh Karaeng LoE ri Pakere dengan tiga orang raja dari Kerajaan Gowa, Bone dan Polongbangkeng, menurut Almarhum Haji Andi Sirajoeddin Dg Maggading Karaeng Simbang XII menjadi salah satu dari regelia/kalompoang Kerajaan Simbang.