Monday, February 20, 2012

Stratifikasi / Tingkatan Sosial Masyarakat Turikale


I. STRATIFIKASI SOSIAL


Masyarakat Turikale didiami oleh Suku Bugis-Makassar dan merupakan sebuah komunitas yang sulit untuk dipisahkan antara kedua suku yang mendiami, hal ini disebabkan karena kehidupan bermasyarakat sejak awal terbentuknya, didasari oleh pola hidup manusia beragama yang tidak membeda-bedakan asal keturunan secara tajam.

Namunpun demikian sebagai daerah berbudaya, stratifikasi sosial masyarakat tetap dihormati, dihargai dan dipelihara sesuai konsepsi budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan latar belakang asal usul masyarakat di Turikale, maka nampak bahwa aturan tentang tingkatan masyarakat tetap berpatokan pada aturan yang berlaku pada Kerajaan Bone dan Gowa, dua kerajaan yang memegang hegemoni politik pada saat itu, yang menjadi sumber leluhur para pendiri Turikale.

Dengan demikian di Turikale, pada kenyataannyapun masyarakatnya terbagi atas tiga tingkatan besar, yaitu :

1. Lapisan Bangsawan (Ana’arung/Ana’karaeng)
2. Lapisan Masyarakat Merdeka (To Maradeka/Tumaradeka)
3. Lapisan Hamba/Budak (Ata)

Lapisan di atas pada intinya masih memiliki klassifikasi kualitas yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam Lontara Latoa, yaitu klassifikasi tingkatan pada masing-masing lapisan masyarakat. Hal ini penting terutama dalam persoalan suksesi pemerintahan dimana pemegang hak utama terdapat pada lapisan Bangsawan kelas tertinggi yang disebut Ana’pattola atau Ana’ti’no.

II. ASAL MUASAL STRATA BANGSAWAN


Kebangsawanan atau stratifikasi sosial lapisan atas dalam perjalanan sejarah Sulawesi Selatan ditemukan adanya dua sumber. Yang pertama, lapisan bangsawan yang berdasar pada sejarah keturunan leluhurnya menurut takaran adat istiadat, hal mana lapisan ini mulai dikenal sejak kedatangan Tomanurung, dan keturunan langsung Tomanurung inilah yang merupakan sebuah lapisan tersendiri yang disebut bangsawan. Yang kedua adalah faktor kondisi dan keadaan yang dipaksakan artinya menduduki lapisan sebagai bangsawan karena kedudukan yang diberikan oleh Belanda sebagai penjajah yang menguasai kebijakan politik.

Pada unsur yang pertama dapat diketahui dengan menelaah silsilah leluhurnya berdasarkan lontara panguriseng (lontara silsilah). Jika seseorang adalah keturunan Tomanurung dan dalam perkembangan keluarganya tetap menjaga aturan wari’ (stratifikasi sosial) maka orang tersebut dikatakan sebagai lapisan bangsawan asli. Di lain fihak meski adalah keturunan Tomanurung namun dalam proses perkembangannya tidak lagi menjaga aturan wari’ maka dikatakan kebangsawanan orang tersebut telah luntur (= tuasa, Bahasa Makassar, atau malawi’, Bahasa Bugis) dan stratifikasinya bergeser ke stratifikasi sosial yang lebih rendah.

Pada Unsur kedua adalah kebangsawanan yang bukan bersumber dari Tomanurung, tetapi merupakan bangsawan ciptaan Kolonial Belanda sebagai pemegang kekuasaan politik dalam masa penjajahan, sehingga seseorang karena diberi kedudukan oleh Belanda sebagai seorang raja ‘boneka’, menempatkannya pada strata kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat hingga keturunannya. Dan ini merupakan bangsawan imitasi.

Pada saat sekarang kita dapat menelusuri atau menguji asal usul kebangsawanan seseorang dari tiga unsur, yaitu apakah bersumber dari Gowa, Luwu atau Bone. Selain itu Tokoh Sentral yang juga dapat menjadi tolok ukur pengujian adalah La Patau Matanna Tikka MalaE Sanra Nyili’na WalinonoE To Tenribali Sultan Alimuddin Idris Petta Matinroe ri Naga Uleng (Mangkau Bone XVI/Datu Soppeng XVII/Ranreng Tuwa Wajo). Sebab akibat politik perkawinan yang dijalankan oleh pamannya La Tenritatta Towappatunru Petta Malampe’e Gemme’na Arung Palakka Sultan Saaduddin (Raja Bone XV) terhadap dirinya, yaitu mengawinkan La Patau dengan I Mariama Karaeng Patukangang, puteri dari Raja Gowa XIX bernama I Mappadulung Daeng Mattimu Karaeng Sanrabone Sultan Abdul Jalil Tumenanga ri Lakiung dan kemudian La Patau dikawinkan lagi dengan We Ummung Datu Citta Arung Larompong, puteri dari Raja Luwu XVII bernama I Setiaraja Daeng Massuro Sultan Muhyiduddin Matinroe ri Tompo’tikka serta selanjutnya dengan sekian banyak puteri bangsawan/raja dari kerajaan lainnya di seantero Bugis-Makassar sehingga menyebabkan bangsawan/raja Bugis-Makassar memiliki kesamaan unsur leluhur, yaitu Bone, Gowa dan Luwu. Dengan demikian untuk menelusuri kebangsawanan seseorang atau sebuah rumpun keluarga adalah cukup dengan menggunakan tolok ukur atau parameter di atas, maka akan segera diketahui kebangsawanan mana yang relevan dengannya.

III. ASAL USUL BANGSAWAN TURIKALE


Pada sejarah terbentuknya Turikale diketahui bahwa yang membuka Wilayah Turikale adalah I Mappibare Daeng Mangiri putera dari I Mappau’rangi Karaeng Boddia Karaeng Tallo Sultan Sirajuddin Raja Gowa XXI/XXIII (1712 - 1724)/(1729 - 1735) dengan demikian keturunan I Mappibare adalah berdarah Gowa keturunan langsung Manurunga ri Taka’bassia (Somba Gowa I).

Selanjutnya seorang cucu I Mappibare Daeng Mangiri bernama I Tate Daeng Masiang diparistrikan oleh I Sulaimana Daeng Massikki Karaeng Simbang, putera dari I Baso

Daeng Ngitung Karaeng Simbang. La Baso Daeng Ngitung adalah putera dari La Rassang Karaeng Simbang, yang mana beliau ini adalah putera dari La Sengka Daeng Nimalo Karaeng Kanjilo Karaeng Simbang, putera dari La Palettei Daeng Magappa Karaeng Tope Eja Karaeng Sambu Eja, putera dari La Pallawagau Arung Palakka Karaenga ri Gowa. La Pallawagau adalah putera dari La Mappareppa Tosappewali Arung Palakka Karaeng Ana’moncong Sultan Ismail Tumenanga ri Somba Opu (Raja Gowa XX/Datu Soppeng XXII/Raja Bone XIX), putera dari La Patau Matanna Tikka dari istri I Mariama Karaeng Patukangang.

Ibunda dari La Rassang Karaeng Simbang (istri dari La Sengka Dg Nimalo Karaeng Simbang) bernama Besse Calulu adalah puteri dari La Makkasau Arung Palakka, putera dari La Pottokati Arung Ujung Datu Baringeng. La Pottokati adalah putera dari La Temmasonge Datu Baringeng Sultan Abdul Razak Jalaluddin Matinroe ri Malimongang (Raja Bone XXIII/Datu Soppeng XXV) yang mana beliau inipun putera dari La Patau Matanna Tikka dari istri We Ummung Datu Citta Arung Larompong.

Dengan mempelajari paparan silsilah di atas dapat diketahui dengan jelas untuk selanjutnya menarik sebuah kesimpulan bahwa Rumpun/wangsa/bangsawan Turikale adalah bangsawan keturunan Tellu BoccoE (Bone - Gowa - Luwu) dan bukanlah bangsawan imitasi buatan Belanda.

Tuesday, February 7, 2012

Sejarah Singkat Pemerintahan TURIKALE - Bagian 2

V. ANDI PALAGUNA DAENG MAROWA (1892 - 1924)


Setelah ayahandanya mengundurkan diri dalam tahun 1892 maka sebagai putera tertua yang telah lama aktif membantu ayahandanya mengendalikan pemerintahan, beliau lalu dilantik menjadi Regent/Karaeng Turikale, meski pada awalnya yang dipersiapkan untuk menjadi Regent/Karaeng adalah adiknya Andi Page Daeng Paranreng, namun enggan karena ternyata lebih mendalami persoalan keagamaan dan merestui pengangkatan kakaknya menduduki tahta Turikale.

Sebagaimana watak dan prilaku ayahandanya, Beliau inipun seorang yang amat mendalami Tarekat Khalwatiah Samman sehingga penampilan, tutur kata dan sikap laku Beliau amat teladan dan kharismatik. Beliau menerima idzin dan padlilah sebagai seorang Chalifa dalam Tarekat tersebut dari ayahandanya atas restu Syech Besar di Leppakkomai dan mempunyai nama Islam : Syech Muhammad Salahuddin ibni Syech Al-Haj Abdul Qadir Jaelani.

Ketika beliau naik tahta, turut mendampinginya sebagai Sullewatang (Acting Regent) ialah Andi Patahuddin Daeng Parumpa, hal ini karena beliau faham betul bahwa Andi Patahauddin Daeng Parumpa juga berhak atas tahta Turikale sebab beliau adalah putera mendiang La Oemma Daeng Manrapi Karaeng Turikale III. Selanjutnya kepada Andi Patahuddin Daeng Parumpa diserahkan kembali Wilayah Simbang yang seluas 24 kampung untuk dikuasainya. Andi Palaguna Daeng Marowa memperistrikan pertamakali Andi Djamintang Daeng Jimene, puteri Karaeng Ngemba Karaengta Kera-kera, dari istri ini lahir

1. Andi Abdul Hamid Daeng Manessa (Karaeng Turikale VI)
2. Andi Marzuki Daeng Marewa
3. Andi Zainuddin Daeng Mangatta (Karaeng Imam Turikale)
4. Andi Juhaefa Daeng Tasabbe (Istri Andi Abdul Rahman Daeng Mamangung, Controlleur Maros/Putera Andi Patahuddin Daeng Parumpa Karaeng Simbang / Sullewatang Turikale)
5. Andi Radeng Ramlah Daeng Nipuji (istri Andi Djipang Daeng Mambani Karaeng Bonto)

Selanjutnya diperistrikannya lagi St. Malang Daeng Sibollo yang melahirkan :

1. Andi Baso Daeng Magassing
2. Andi Halimah Daeng Ke’nang
3. Andi Mapparessa Daeng Sitaba (Karaeng Turikale VII)

terakhir Andi Palaguna Daeng Marowa memperistrikan St. Sakone Daeng So’na dan melahirkan :

1. Andi Aisyah Daeng Kebo
2. Andi Fatimah Daeng Galo
3. Andi Hatifa Daeng De’nang
4. Andi Yahya Daeng Nyonri
5. Andi Sohrah Daeng Senga

Pada tahun 1917, Beliau mulai kurang aktif mengendalikan pemerintahan. Tugas pemerintahan lebih banyak dijalankan oleh putera sulungnya Andi Abdul Hamid Daeng Manessa. Kegiatan beliau lebih banyak pada pelaksanaan Tarekat Khalwatiah Samman dan upaya membuka sawah dan ladang di daerah Mangento Tanralili dan sekitarnya yang selanjutnya dibagikan kepada para pengikutnya. Oleh karena itu selanjutnya beliau disebut dengan gelar Karaeng Mangento.

Pada saat pemerintahan beliau yang menjadi Kadhi ialah Sayyid Abdul Wahid Daeng Mangngago (1889 - 1918) dan Sayyid Abdul Hamid Daeng Pasampa (1918 - 1923) sedangkan yang menjabat Imam adalah Haji Andi Muhammad Saleh Daeng Manappa. Dalam masa pemerintahannya pula, beliau bersama dengan seluruh Karaeng dan Imam yang ada dalam Wilayah Maros sepakat untuk mengangkat Haji Abdul Kadir Daeng Mangngawing Imam Marusu menjadi Kadhi Maros menyebabkan berpindahnya pusat kedudukan Kadhi dari Labuan (Turikale) ke Kassikebo (Marusu). Beliau pula yang memerintahkan agar Arajang/Kalompoang (Regelia) Turikale yang disebut “Rakkala Manurunge” dialihkan tempat persemayamannya ke Tala’mangape, sebab beliau khawatir sikap kultus kebendaaan terhadap arajang/kalompoang dapat membuat masyarakat Turikale merusak aqidahnya.

Pada Tahun 1925 secara resmi Beliau mundur dari jabatannya dan digantikan puteranya. Tanggal 15 Februari 1939, beliau berpulang kerahmatullah dan dimakamkan di belakang Masjid Urwatul Wutzqa tepat di sisi kanan makam ayahandanya.


VI. ANDI ABDUL HAMID DAENG MANESSA (1925 - 1946)

Beliau mulai ikut mengendalikan pemerintahan di Turikale sejak Tahun 1917 ketika ayahandanya pergi menetap ke Mangento membuka sawah dan ladang, namun pengangkatannya sebagai Karaeng Turikale secara resmi adalah tahun 1924. Dalam masa pemerintahannyalah bentuk pemerintahan Kerajaan lokal di Wilayah Maros termasuk Turikale berubah dari status sebagai Regentschaap menjadi Distrik Adat Gemenschaap yang dikepalai oleh seorang Kepala Distrik dengan gelar Karaeng, dengan demikian para penguasa Kerajaan lokal telah ditetapkan sebagai Pegawai Negeri/Ambtenar oleh pemerintah kolonial Belanda dan diberi gaji/tunjangan sesuai jabatannya.

Beliau dikenal sebagai seorang Karaeng yang berwatak keras dan tegas, sikap perjuangan yang ditunjukkannya adalah anti kolonialisme sehingga secara transparan tidak mau menerima ajakan kerjasama fihak Belanda. Bahkan secara aktif menyokong jalannya perjuangan rakyat menentang kekuasaan Belanda. Tak jarang beliau sendiri yang memimpin rapat-rapat dengan pimpinan perjuangan rakyat baik bertempat di rumahnya maupun di kantornya.

Andi Abdul Hamid Daeng Manessa hanya sekali beristri yaitu dengan Andi Nyameng Daeng Manurung dan dari perkawinannya ini dianugerahi keturunan sebagai berikut :

1. Andi Hadia Daeng Niasi (istri dari Andi Tambi Karaeng Bungoro)
2. Andi Nurdin Sanrima (Brigadir Jenderal Polisi)
3. Andi Djohar Daeng Sompa
4. Andi Sima Daeng Jime
5. Andi Djamil Daeng Pabundu

Dalam masa pemerintahannya kedudukan Kadhi tidak lagi di Labuan Turikale tetapi di Kassikebo Marusu dan yang menjabatnya ialah Haji Abdul Kadir Daeng Mangngawing. Sedangkan yang menjabat sebagai Imam Turikale dalam masa ini ialah Haji Andi Page Daeng Parenreng (Petta Hajji) yang menjabat pada tahun 1928 - 1930 kemudian dilanjutkan oleh Haji Andi Abdul Latief Daeng Matekko (1930 - 1938) dan Haji Andi Zainuddin Daeng Mangatta (1938 - 1943).

Setelah kesehatan beliau sudah mulai uzur sehingga tidak memungkinkan lagi untuk mengendalikan pemerintahan, lalu mengundurkan diri dan digantikan oleh adiknya dari lain ibu Haji Andi Mapparessa Daeng Sitaba.


VII. HAJI ANDI MAPPARESSA DAENG SITABA (1946 - 1959)

Setelah Andi Abdul Hamid Daeng Manessa mengundurkan diri, maka diangkatlah Andi Mapparessa Daeng Sitaba sebagai Karaeng/Kepala Distrik Turikale yang baru, yang sebelumnya adalah seorang perwira polisi.

Andi Mapparessa Daeng Sitaba adalah seorang yang berpenampilan menarik. Kemampuan dan penampilannya yang simpatik menyebabkan beliau senantiasa dipercayakan oleh rekan-rekannya para Kepala Distrik (Karaeng) untuk tampil di bagian terdepan. Beliau adalah Ketua Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Maros dan bersama Haji Andi Sirajuddin Daeng Maggading Karaeng Simbang menjadi utusan resmi rakyat Maros menghadap Andi Pangerang Petta Rani Gubernur Sulawesi ketika itu untuk memperjuangkan pembentukan Kabupaten Maros terpisah dari Daerah Swatantra Makassar.

Pada medio tahun 1959, beliau berhenti dari jabatannya sebagai Kepala Distrik/Karaeng Turikale. Beliau memperistrikan pertama kali Andi Djohra Daeng Nganne yang bergelar Karaeng Baineya yang melahirkan puteri tunggal :

- Andi Nuraeni Daeng Baji (istri Kolonel Polisi A. Djabbar Dg Matutu).

Selanjutnya beliau memperistrikan lagi St. Djohani Daeng Ngugi dan melahirkan keturunan:
1. Andi Syahril Sanrima
2. Andi Budialan Daeng Te’ne
3. Andi Ahmad Latief , Drs (Letnan Kolonel Polisi)
4. Andi Ratna


VIII. ANDI KAMARUDDIN SYAHBAN DG. MAMBANI (1959 - 1963)

Pada saat berhentinya Andi Mapparessa Daeng Sitaba sebagai Karaeng/Kepala Distrik, maka oleh Dewan Hadat Turikale mempersiapkan beberapa orang calon pengganti, namun ternyata pada Sidang Dewan Hadat, yang memperoleh suara terbanyak adalah Andi Kamaruddin Syahban Daeng Mambani.

Beliau tidak berdarah Turikale secara langsung, tetapi beliau adalah seorang bangsawan Marusu yang bertalian darah erat dengan Rumpun Turikale. Ayahandanya bernama Andi Syahban Daeng Massikki, putera dari Andi Mannaungi Daeng Mananting Karaeng Imam Marusu (putera dari La Pagala Daeng Pabuang Sullewatang Marusu , putera dari La Tifu Daeng Mattana Karaeng Marusu, putera dari La Mamma Daeng Marewa Karaeng Marusu Matinroa ri Samangki). Ibundanya bernama Andi Lawiyah Petta Kanang puteri dari Andi Paccanring Daeng Siala, putera dari La Paduppai Daeng Palawa Petta Sullewatang Timboro Matinroa ri Bontobiraeng (putera dari La Barania Daeng Palallo Petta Sullewatang Timboro Matinroe ri Marusu). Ibu dari Ibundanya bernama Andi MaEsuri Daeng Masennang, puteri dari Andi Surullah Daeng Palopo Karaeng Marusu Matinroa ri Kassikebo kakak dari Andi Mumba Petta Baji (istri Andi Sanrima Daeng Parukka Karaeng Turikale IV), yaitu putera dari Andi Manyandari Daeng Paranreng Karaeng Marusu Matinroe ri Campagae. Dari uraian itulah sehingga tergambar bahwa beliau ini bertalian darah sangat erat dengan para elit bangsawan Turikale.

Pada masa revolusi Kemerdekaan, beliau adalah seorang pucuk pimpinan Badan Perjuangan di Maros, bahkan merupakan unsur pimpinan pada Organisasi Perjuangan PPNI (Pusat Perjuangan Nasional Indonesia) . Sebagai Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau dianugerahi beberapa Bintang Jasa Pahlawan seperti antara lain Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Perang Kemerdekaan, Bintang Gerakan Operasi Militer I,II,III,IV dan V, dll.

Beliau memperistrikan kerabat keluarganya dari Marusu bernama Andi Djauhariah Daeng Taugi cucu dari Andi Yahya Daeng Ma’lira Karaeng Imam Marusu dan dianugerahi keturunan :

1. Andi Rahmayati Daeng Kenna
2. Andi Amiruddin Daeng Palawa
3. Andi Tenrijajah Daeng Sompa
4. Andi Anwar Daeng Lira
5. Andi Marwah Daeng Tjarammeng
6. Andi Arifin Daeng Massikki
7. Andi Husnah
8. Andi Mujnah Daeng Gallo
9. Andi Baso Aqsa Daeng Mananting

Pada tanggal 1 Juni 1963, UU No. 29/1959 mulai diberlakukan, yaitu penghapusan Pemerintahan Adat (Distrik) bentukan lama dalam wadah Kabupaten Daerah Tk.II Maros, sehingga secara otomatis seluruh Karaeng/Kepala Distrik melepaskan jabatannya. Setelah kejadian tersebut beliau lalu beralih tugas sebagai seorang Pamong Praja dengan tempat tugas Kantor Gubernur KDH Tk.I Sulsel hingga pensiun pada tahun 1980.

Sejarah Singkat Pemerintahan TURIKALE - Bagian 1



Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa dalam perjalanan sejarahnya, Turikale dipimpin oleh 8 orang Kepala Pemerintahan Adat, yaitu sejak tahun 1796 sampai 1963

Sebagai penghargaan dan penghormatan kepada mereka maka pada kesempatan ini akan diuraikan secara singkat sejarah masing-masing kepala pemerintahan (karaeng) serta sekilas tentang silsilah keluarganya, sebagai berikut :

I.  I LAMO DAENG NGIRI (1796 - 1831)


Seperti tercatat di depan, bahwa Beliau inilah yang pertama-tama memperoklamirkan berdirinya Turikale sebagai sebuah daerah otonom yang berpemerintahan adat. Wilayah Turikale ini adalah warisan dari kakeknya I Mappibare Daeng Mangiri, putera dari I Mappau’rangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin Raja Gowa/Tallo, yang membuka Turikale sebagai daerah pemukiman yang berkembang dengan pesat.

I Lamo Daeng Ngiri dalam mengendalikan pemerintahan bergelar I Daeng ri Turikale, gelar yang dipilihnya sendiri sebagai bukti bahwa Turikale ketika awal berdirinya menempatkan diri pemimpinnya tidak kaku dan absolut/otoriter.

Beliau adalah putera dari I Daeng Silassa dan ibunya bernama I Habiba Daeng Matasa. Dari perkawinannya dengan I Daeng Sibollo, Beliau tidak dianugerahi keturunan sehingga yang menggantikan kedudukannya adalah Muhammad Yunus Daeng Mumang, putera dari adik perempuannya I Tate Daeng Masiang yang diperistrikan oleh I Sulaimana Daeng Massikki Karaeng Simbang.

I Lamo Daeng Ngiri yang pertama kali mendirikan secara otonom Lembaga Ke-Kadhi-an di Maros, tepatnya pada tahun 1815, ketika Sayyid Amrullah Daeng Mambani diangkat sebagai Kadhi Maros berkedudukan di Labuan (Turikale) dengan wilayah fungsi seluruh daerah adat di Wilayah Maros. Ke-Kadhi-an ini adalah kesinambungan dari Kadhi Bontoala Kerajaan Gowa.

Pada tahun 1831, I Lamo Daeng Ngiri kembali keharibaan Sang Khalik dan sebagaimana dituliskan di depan penggantinya adalah :


II.   MUHAMMAD YUNUS DAENG MUMANG (1831 - 1859)

Dalam mengendalikan pemerintahan Muhammad Yunus Daeng Mumang tetap bergelar I Daeng ri Turikale. Ciri Beliau dalam mengendalikan pemerintahan tetap mengikuti ciri yang ditunjukkan oleh pamannya I Lamo Daeng Ngiri.

Dalam masa pemerintahannya lah pertama kali Masjid Turikale dibangun meski dalam bentuk yang sangat sederhana sekaligus diresmikan berdirinya Lembaga Ke-Imam-an Turikale dengan mengangkat pertama kali sebagai Imam Turikale ialah Syech Muhammad Yusuf Daeng Makkuling, keturunan ke-7 garis laki-laki dari Syech Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa yang memperistrikan puteri Muhammad Yunus Daeng Mumang yang bernama Sitti Habiba Daeng Manurung.

Muhammad Yunus Daeng Mumang memperistrikan I Getteng dan memberi keturunan masing-masing :

1. Sulaimana Daeng Mattara
2. Habiba Daeng Manurung
3. Yadaneng Daeng Rannu
4. Hudaerah Daeng Tayu

Sesungguhnya yang amat pantas untuk menggantikannya ialah putera sulungnya Sulaimana Daeng Mattara, tetapi oleh Beliau hal tersebut tidak direstui menjadi Putera Mahkota sebab prilaku Sulaimana Daeng Mattara menurut penilaian beliau kurang terpuji sehingga oleh Beliau yang diamanahkan untuk menggantikannya ialah keponakannya bernama I Laoemma Daeng Manrapi, putera adiknya I Dolo Daeng Patokkong Petta CorawaliE ri Makuring, yang ketika itu telah menjabat sebagai Karaeng Simbang.

Puteri Muhammad Yunus Daeng Mumang bernama Habiba Daeng Manurung diperistrikan oleh Syech Muhammad Yusuf Dg Makkuling (Imam Turikale I), kelak keturunannya akan senantiasa menjabat sebagai Imam Turikale. Puteri selanjutnya Yadaneng Daeng Rannu diperistrikan oleh Sayyid Tanro Dg Mangawing yang keturunannya sekarang merupakan rumpun keluarga Sayyid yang bertempat tinggal di Tambua Maros Utara. selanjutnya puterinya yang bernama Hudaera Daeng Tayu diperistrikan oleh Jayalangkara Dg Pasila menurunkan keturunan yang saat ini merupakan sebuah keluarga besar di Bontotangnga Tanralili.

Pada masa pemerintahan Muhammad Yunus Daeng Mumang yang menjabat sebagai Kadhi ialah Sayyid Husain Daeng Massese (1856), Sayyid Abdul Rahman Daeng Marewa (1856) dan Sayyid Muhammad Ali Daeng Mangnguluang (1856 – 1889).


III.   LA OEMMA DAENG MANRAPI (1859 - 1872)


La Oemma Daeng Manrapi adalah Kepala Pemerintahan Turikale yang pertama-tama bergelar Regent, sebab ketika naik tahta menggantikan pamannya Muhammad Yunus Daeng Mumang, pemerintah Belanda yang menguasai Sulawesi Selatan mengubah bentuk pemerintahan semua kerajaan lokal di Sulawesi Selatan menjadi Regentschaap yang dikepalai oleh seorang penguasa dengan gelar Regent.

La Oemma Daeng Manrapi adalah putera dari La Dolo Daeng Patokkong Petta CorawaliE ri Makuring Karaeng Simbang VIII (adik kandung Muhammad Yunus Daeng Mumang) Ibundanya bernama I Besse Daeng Kanang (puteri Karaeng Tallasa).

Sebelum La Oemma Daeng Manrapi diangkat sebagai Regent/Karaeng Turikale, beliau telah menduduki tahta Karaeng Simbang IX sejak tahun 1834 sehingga dengan pengangkatannya sebagai Regent Turikale, beliau melebur menjadi satu pemerintahan antara Simbang dan Turikale yang berpusat di Redaberu.

Beliau adalah seorang pengikut fanatik Tarekat Khalwatiah Samman sehingga dalam masa pemerintahannya masyarakat benar-benar hidup dalam nuansa religius yang islami. Beliau beristri dua kali, yang pertama dengan I Bakko Daeng Taunga yang diperistrikannya sebelum memangku jabatan sebagai Karaeng Simbang & Turikale dan yang kedua dijadikannya sebagai permaisuri (karaeng baine) ialah I MaErana Daeng Taugi Puang LoloE, puteri dari I Malarau Daeng Materru Karaengta Allu, dan dari Karaeng Baine-a ini lahir keturunan :

1. Andi Patahuddin Daeng Parumpa (Karaeng Simbang X)
2. Andi Sahada Daeng Ningai

Putera tertua Andi Patahuddin Daeng Parumpa kelak akan memangku jabatan sebagai Sullewatang Turikale dan Karaeng Simbang X, memperistrikan Andi Maemuna Daeng Talele mempunyai keturunan :

1. Andi Sohrah Daeng Masennang
2. Andi Amiruddin Daeng Pasolong (Karaeng Simbang XI)
3. Andi Abdul Rahaman Daeng Mamamngung (Controlleur van Maros)
4. Andi Najamuddin Daeng Marala (Hulp Bestuurs Asisten van Selayar)

sedangkan puterinya Andi Sahada Daeng Ningai diperistrikan oleh Andi Baduddin Daeng Manuntungi (asal Gowa) dan melahirkan keturunan :
1. Andi Lolo Daeng Patobo (Imam Simbang
2. Andi Faharuddin Daeng Sisila (Imam Simbang)
3. Andi Abdullah Daeng Matutu (Karaeng Tanralili)

Pada masa pemerintahan La Oemma Daeng Manrapi yang menjabat sebagai Kadhi ialah Sayyid Muhammad Ali Daeng Mangnguluang dan sebagai Imam adalah Haji Andi Abdullah Daeng Maggading. Setelah Beliau wafat lalu bergelar Karaeng Matinroa ri Bontomuloro, dan digantikan oleh sepupunya.

IV. ANDI SANRIMA DAENG PARUKKA (1872 - 1892)

Beliau naik tahta sebagai Regent/Karaeng Turikale pada tahun 1872 ketika La Oemma Dg Manrapi Wafat dan putera sulungnya Andi Patahuddin Daeng Parumpa masih kanak-kanak, maka Dewan Hadat Turikale menetapkannya sebagai Karaeng Turikale yang baru.

Beliau adalah putera dari I Djipang Daeng Manessa seorang bangsawan Gowa asal Kera-kera. Ibundanya bernama I Radeng Daeng Nigalo (adik kandung Muhammad Yunus Daeng Mumang Karaeng Turikale II).

Ketika Andi Sanrima Daeng Parukka masih berusia remaja menurut riwayat adalah seorang remaja yang bandel, tetapi berkat pembinaan dari kakak sepupunya La Oemma Daeng Manrapi Karaeng Turikale III, beliau lalu mendalami dengan tekun ajaran Islam melalui Tarekat Khalwatiah Samman sehingga dikenal luas sebagai seorang tokoh utama dalam jajaran Tarekat tersebut disamping para Syech Besar yang berkedudukan di Leppakkomai dan Patte’ne.

Dari Syech Abdul Razak Puang Palopo (Syech Murabbi Tarekat Khalwatiah Samman) beliau mendapatkan izin dan padlilah sebagai seorang Chalifah. Atas inisiatif dan prakarsa Beliau Tarekat Khalwatiah Samman disebarluaskan hingga masyarakat awam yang pada awalnya hanya untuk kalangan keluarga bangsawan/raja, atas inisiatif ini yang suatu yang sangat responsif oleh Syech Besar beliau diberi gelar Syech Al-Haj Abdul Qadir Jaelani. Karena kharisma dan kearifan beliau yang demikian agung sehingga, beliau lebih dikenal luas di negeri-negeri luar Turikale sebagai seorang Ulama ketimbang sebagai seorang Umara (Aristokrat/Penguasa).

Andi Sanrima Daeng Parukka pertama kali memperistrikan I Tanra Daeng Tamene Karaengta Sanggiringan, karena tidak dikarunia anak lalu bercerai selanjutnya diperistrikannya Sitti Hawang Daeng Tasabbe yang melahirkan :
1. Andi Palaguna Daeng Marowa (Karaeng Turikale V)
2. Andi Badalang Daeng Te’ne

selanjutnya diperistrikan lagi Andi Mumba Petta Baji, puteri dari Andi Manyandari Daeng Paranreng Karaeng Marusu XII Matinroe ri Campagae, dan melahirkan :

1. Andi Page Daeng Paranreng (Petta Hajji)
2. Andi Duppa Daeng Malewa
3. Andi Gulmania Daeng Baji

seorang lagi istri beliau melahirkan putera bernama Andi Pallanti Daeng Sitoro.

Putera beliau yang tertua Andi Palaguna Daeng Marowa kelak menggantikannya sebagai Karaeng Turikale V, sedangkan puterinya Andi Badalang Daeng Te’ne diperistrikan oleh Andi Radja Daeng Manai Karaeng Bonto. Puteranya Andi Page Daeng Paranreng kelak menjadi Karaeng Imam Turikale (keturunannya diuraikan secara tersendiri pada Bab tentang Imam Turikale). Puteranya lagi Andi Duppa Daeng Malewa adalah ayahanda dari Andi Mardjang Sanrima Daeng Malewa Arung Cenrana XI, sedangkan puterinya Andi Gulmania Daeng Baji diperistrikan oleh Syech Haji Andi Abdullah Daeng Mangatta (Syech Murabbi ke-45 Tarekat Khalwatiah Samman, Putera Syech Haji Abdul Razak Puang Palopo, Syech Murabbi ke-44 Tarekat Khalwatiah Samman).

Ada empat orang Kadhi yang menjabat secara berurutan dalam masa pemerintahannya, yaitu : Sayyid Muhammad Ali Daeng Mangnguluang, (1856-1889), Sayyid Abdul Wahab Daeng Mangngawing (1889), Sayyid Thaha Daeng Mamala (1889) serta Sayyid Ahmad Basri Daeng Paranreng (1889 - 1899). Sedangkan yang menjabat sebagai Imam Turikale ialah Haji Andi Kamarong Daeng Manggauki.

Karena keinginan untuk lebih mengabdikan diri pada pengembangan Tarekat Khalwatiah Samman, maka pada tahun 1892, Beliau mengundurkan diri dan digantikan oleh puteranya Andi Palaguna Daeng Marowa. Beliau wafat pada tahun 1912 dan memperoleh gelar anumerta Puang Karaeng Matinroe ri Masigi’na.


(bersambung)

Saturday, February 4, 2012

KERAJAAN TURIKALE - Bagian II


STRUKTUR PEMERINTAHAN ADAT DI TURIKALE


Di masa pemerintahan I Lamo Daeng Ngiri (1796 - 1831) struktur pemerintahan adat masih terpusat pada tangan Beliau sebagai kepala pemerintahan, namun khusus untuk kekuasaan untuk kekuasaan peradilan (Ke-Kadhi-an), Turikale masih mengikuti pengaruh Ke-Kadhi-an Kerajaan Gowa yang berpusat di Bontoala yang berdiri secara resmi pada tahun 1641 dimasa pemerintahan Baginda I Manuntungi Daeng Mattola Sultan Malikul Said Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Tumenanga ri Papambatuna (Raja Gowa XV).

Urutan Kadhi Kerajaan Gowa di Bontoala adalah sebagai berikut :

1. Ince Kaimuddin (1641 - 1673)
2. Ince Yusufuddin (1673 - 1718)
3. Ince Muhammad Rajab (1718 - 1759)
4. Sayyid Abdul Gaffar Waliuddin (1759 - 1814)
5. Sayyid Muhammad Zainuddin (1814 - 1815)

Turikale mulai mengikuti kekuasaan peradilan Kadhi Bontoala ketika yang menjadi Kadhi ialah Sayyid Abdul Gaffar Waliuddin (Kadhi ke-4).

Pada tahun 1815, oleh I Lamo Daeng Ngiri memulai berdirinya Lembaga Ke-Kadhi-an secara otonom di Turikale dengan wilayah pengaruh seluruh Maros dan dipusatkan di Labuan ditandai dengan dilantiknya Sayyid Amrullah Daeng Mambani sebagai Kadhi. Secara berturut-turut yang memegang jabatan Kadhi di Turikale (Maros) adalah :

1. Sayyid Amrullah Daeng Mambani (1815 - 1856)
2. Sayyid Husain Daeng Massese (1856)
3. Sayyid Abdul Rahman Daeng Marewa (1856)
4. Sayyid Muhammad Ali Daeng Mangnguluang (1856 - 1889)
5. Sayyid Abdul Wahab Daeng Mangawing (1889)
6. Sayyid Thaha Daeng Mamala (1889)
7. Sayyid Ahmad Basri Daeng Paranreng (1889 - 1899)
8. Sayyid Abdul Wahid Daeng Mangngago (1899 - 1918)
9. Sayyid Abdul Hamid Daeng Pasampa (1918 - 1923)

Di samping lembaga syara’ Ke-Kadhi-an, dalam sistem pemerintahan adat di Turikale terdapat pula Dewan Hadat yang merupakan Lembaga Formil dengan kekuasaan Legislatif, yang bertugas memberi pertimbangan dan nasehat kepada Karaeng serta menetapkan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintahan adat.

Dewan Hadat ini beranggotakan 12 orang Kepala Kampung, yaitu terdiri atas :

1. Gallarang Solojirang
2. Matowa Manarang
3. Matowa Panaikang
4. Gallarang Kasuwarang
5. Matowa Redaberu
6. Gallarang Mangngai
7. Matowa Labuan
8. Matowa Sangieng
9. Gallarang Tambua
10. Matowa Tala’mangape
11. Matowa Leang-leang
12. Gallarang Bontokapetta

Selain Dewan Hadat, dalam struktur pemerintahan Turikale pun terdapat lembaga Ke-Imam-an yang dikepalai oleh Karaeng Imam atau Petta Imam. Karaeng/Petta Imam membawahi para imam kampung dalam wilayah hukum Turikale. Lembaga ini mulai dibentuk pada masa pemerintahan Muhammad Yunus Daeng Mumang (1831 - 1859).

Urutan Imam Turikale sejak terbentuknya + 1831 sampai tahun 1963 ketika pemerintahan adat Turikale berakhir adalah sebagai berikut :

1. Syech Haji Muhammad Yusuf Daeng Makkuling
2. Haji Andi Abdullah Daeng Maggading
3. Haji Andi Kamarong Daeng Manggauki
4. Haji Andi Abdullah Daeng Maggading (ke-2 kalinya)
5. Haji Andi Muhammad Saleh Daeng Manappa
6. Haji Andi Page Daeng Paranreng (Petta Hajji)
7. Haji Andi Abdul Latief Daeng Matekko
8. Haji Andi Zainuddin Daeng Mangatta
9. Haji Andi Zainuddin Daeng Paremma
10. Haji Abdul Gaffar Daeng Patobo
11. Haji Andi Zainuddin Daeng Mangatta (ke-2 kalinya)
12. Andi Muhammad Noer Daeng Matekko


SEJARAH PEMERINTAHAN ADAT TURIKALE

Sejak terbentuknya sistem pemerintahan adat di Turikale pada tahun 1796, bentuk pemerintahan Turikale beberapa kali mengalami perubahan/pergantian istilah. Pertama kali terbentuknya, Turikale belum melaksanakan sistem pemerintahan murni sehingga Kepala Pemerintahannya ketika itu disebut I Daeng ri Turikale, sebab masih sangat dominan pengaruh dan ketentuan Agama Islam. Masa seperti ini berlangsung dari tahun 1796 - 1859. Dan ada dua orang yang menjabatnya, yaitu :

1. I Lamo Daeng Ngiri (1796 - 1831)
2. Muhammad Yunus Daeng Mumang (1831 - 1859)

Selanjutnya akibat penguasaan Pemerintah Kolonial Belanda di Wilayah Sulawesi Selatan termasuk Maros menyebabkan seluruh Pemerintahan Kerajaan Lokal diformulasikan sebagai bagian dari Kerajaan Belanda, maka bentuk pemerintahan seluruh Kerajaan lokal yang berada di Maros termasuk Turikale dijadikan sebagai Daerah Regentschaap yang dikepalai oleh Karaeng (bangsawan setempat) yang bergelar Regent (Bupati). Dan dalam kurun waktu ini ada tiga orang yang menjabatnya, yaitu :

1. I Laoemma Daeng Manrapi (1859 - 1872)
2. I Sanrima Daeng Parukka (1872 - 1882)
3. I Palaguna Daeng Marowa (1882 - 1817)

Dan era terakhir adalah Turikale dalam bentuk Distrik Adat Gemenschaap dengan Kepala Pemerintahannya seorang Kepala Distrik dengan gelar Karaeng. Untuk periode ini yang berlangsung sejak tahun 1917 sampai dengan 1963 ada tiga orang yang menjabatnya, yaitu :

1. Andi Abdul Hamid Daeng Manessa (1917 - 1946)
2. Haji Andi Mapparessa Daeng Sitaba (1946 - 1959)
3. Andi Kamaruddin Syahban Daeng Mambani (1959 - 1963)

Selanjutnya lahir Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 yang diberlakukan mulai tanggal 1 Juni 1963. Pada saat itu seluruh Kerajaan Lokal/Distrik Adat Gemenschaap termasuk Turikale dilebur. Turikale bersama dengan Marusu, Lau’ dan Bontoa dilebur menjadi sebuah kecamatan dengan nama Kecamatan Maros Baru.

KERAJAAN TURIKALE - Bagian I


LATAR BELAKANG SEJARAH


Pada awalnya di Wilayah Turikale hanya berdiam segelintir manusia dengan cara hidup tidak menetap. Daerahnya pun masih merupakan hutan-hutan dan daerah persawahan. Sungai Maros melintas ditengahnya. Setelah Karaeng LoE ri Marusu (Raja Maros III) memindahkan pusat kerajaan dari Pakere ke Marusu, penduduk Pakere dan beberapa kampung di sekitarnya yang banyak penduduknya mulai berpindah mendekati pusat kerajaan yang baru membuka perkampungan dan pemukiman baru. Dengan demikian secara lambat laun wilayah Turikale pun mulai ramai ditempati orang sehingga tercipta menjadi sebuah perkampungan dan pemukiman penduduk yang ramai dan berkembang.

Ketika Maros menjadi sebuah Kerjaan Islam di masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali (Karaengta Barasa), daerah ini dijadikan sebagai tempat pendidikan agama Islam yang dilakukan oleh ulama-ulama dari Kerajaan Gowa/Tallo.

Putera Karaengta Barasa yang bernama Muhammad Yunus Daeng Pasabbi (Kare Yunusu), dikirim oleh ayahandanya mengikuti Pendidikan Tinggi Agama Islam di Bontoala. Dalam masa pendidikannya ia berkenalan dengan salah seorang putera Raja Tallo (I Mappau’rangi Karaeng Boddia) yang bernama I Mappibare Daeng Mangiri. Persahabatan yang terjalin di antara mereka sangatlah akrab. Mereka berdua setiap ada kesempatan saling bertukar fikiran dan berdiskusi dalam banyak hal, baik menyangkut ketatanegaraan terlebih lagi ikhwal Agama Islam.

Setelah Karaengta Barasa mangkat, Muhammad Yunus Daeng Pasabbi naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Raja Maros VIII. Sebagai raja yang bijak dan alim serta tinggi ilmu agamanya, tentulah Ia ingin pula memajukan Pendidikan dan Pembinaan Agama Islam di kerajaannya, seperti yang telah dirintis oleh almarhum ayahandanya. Kemudian diajaknya sahabatnya ketika menjalani pendidikan dulu (I Mappibare Daaeng Mangiri) untuk menetap di Maros demi mewujudkan keinginannya. I Mappibare Daeng Mangiri ternyata tidak keberatan memenuhi ajakan sahabatnya lalu menetaplah Ia di Maros dan kepadanya diberikan Wilayah ini sebagai wilayah yang dikuasainya sekaligus sebagai tempat I Mappibare Daeng Mangiri melaksanakan kegiatan pengembangan Ilmu Agama Islam. Perkampungan yang diberikan kepadanya itu diberi nama TURIKALE artinya Kerabat Dekat, untuk memberikan pertanda bahwa I Mappibare Daeng Mangiri yang diberi kuasa menempatinya adalah kerabat keluarga yang sangat akrab.

Maka jadilah Turikale yang tadinya sebuah perkampungan tidak bertuan menjadi wilayah yang teratur, sebab menjadi pusat pendidikan Agama Islam. Banyak ulama dari berbagai negeri datang ke Turikale, bahkan ulama keturunan Sayyid pun berlabuh di Turikale yang selanjutnya menempati perkampungan bernama Labuan dan Kassi.

Tarekat Khalwatiah Yusuf/Tajul Khalwatiah berkembang dengan pesat akibat integrasi dan kulturasi para ulama dengan sanak keluarga dan pengikut I Mappibare Daeng Mangiri. Meski kelihatan bahwa Turikale telah menjelma menjadi sebuah wilayah yang berkembang, namun statusnya sebagai wilayah otorita pengembangan Islam tetap dipertahankan, tetap seperti ide dasar pembentukannya. Bukan sebagai wilayah hukum berpemerintahan sehingga kesannya seperti sebuah daerah khusus istimewa.

I Mappibare Daeng Mangiri memperistrikan seorang puteri bangsawan Gowa bernama I Duppi Daeng Ma’lino dan setelah mangkat kepemimpinannya digantikan oleh puteranya bernama I Daeng Silassa. Keadaan Turikale dari waktu ke waktu, tahun ke tahun menjadi semakin ramai dan berkembang. I Daeng Silassa memperistrikan sanak keluarganya dari Gowa/Tallo yang bernama Habiba Daeng Matasa, yang melahirkan sepasang putera-puteri, yaitu I Lamo Daeng Ngiri dan I Tate Daeng Masiang.

I Lamo Daeng Ngiri inilah yang kemudian membuka babakan baru di Turikale setelah menjadikan Turikale tidak saja sebagai daerah pengembangan Agama Islam tetapi juga sebagai sebuah daerah berotonomi dan berpemerintahan sendiri. Hal ini tentu sangat memungkinkan bagi I Lamo Daeng Ngiri, sebab Turikale telah memiliki pengaruh yang sangat luas bahkan meliputi kurang lebih 40 kampung menyatakan ikut dalam wilayah hukum Turikale.

Sejak itu, sekitar tahun 1796, kurang lebih lima puluh tahun sejak dibuka oleh I Mappibare Daeng Mangiri, akhirnya oleh cucunya I Lamo Daeng Ngiri memproklamirkan berdirinya Turikale sebagai sebuah Kerajaan berpemerintahan sendiri yang lepas dari kekuasaan hukum kerajaan manapun juga.

LAHIRNYA SISTEM PEMERINTAHAN ADAT DI TURIKALE


Setelah berdiri sebagai sebuah wilayah pemukiman terbuka selama kurang lebih lima puluh tahun, maka sejak tahun 1796 oleh I Lamo Daeng Ngiri, cucu dari I Mappibare Daeng Mangiri mendirikan sistem pemerintahan adat secara resmi di Turikale dan oleh para pemuka masyarakat menetapkan secara resmi I Lamo Daeng Ngiri sebagai kepala pemerintahan dengan gelar I DAENG ri TURIKALE.

Sebagai I Daeng ri Turikale yang pertama, I Lamo Daeng Ngiri mulai menata sistem pemerintahan secara teratur. Pada kampung-kampung yang menyatakan diri mengikuti prngaruhnya diangkat kepala-kepala kampung. Pada kampung yang penduduknya berbahasa Makassar, kepala kampungnya disebut Gallarang, sedangkan yang berbahasa Bugis kepala kampungnya disebut Matoa. Sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan dan belanja kerajaan mulai dilakukan secara sederhana meski masih bersendikan pada aturan Islam secara dominan.

Wilayah-wilayah yang merupakan daerah hukum Turikale meliputi 43 kampung, yaitu :
1. Redaberu
2. Solojirang
3. Bontokapetta
4. Kasuwarang
5. Soreang
6. Bontocabu
7. T a m b u a
8. Kassijala
9. Pattalasang
10. Rea-rea
11. Manrimisi Turikale
12. Kuri Caddi
13. Sungguminasa
14. D a t a
15. Panaikang
16. Buttatoa
17. Tumalia
18. Baniaga
19. Maccopa
20. K a s s i
21. B u l o a
22. Sangieng (Tana Matoana Turikale)
23. Pakalli
24. Bonti-bonti
25. Paranggi
26. Moncongbori
27. Mangngai
28. Manarang
29. Camba Jawa
30. Bunga Ejaya
31. Pa’jaiyang
32. Ammesangeng
33. Samariga
34. Leang-leang
35. Tompo’balang
36. Labuang
37. Karaso
38. Bonto Labbua
39. T a b b u a
40. Balombong
41. Balanga
42. Tala’mangape
43. Sanggalea

I Lamo Daeng Ngiri memperistrikan I Daeng Sibollo namun dalam perkawinanya, Beliau tidak mempunyai keturunan sehingga ketika mangkat yang naik tahta menggantikannya ialah keponakannya bernama Muhammad Yunus Daeng Mumang putera dari adik kandungnya I Tate Daeng Masiang yang diperistrikan oleh I Sulaimana Daeng Massikki saudara tertua dari I Kamummu Daeng Macora, istri dari Syech Abdul Razak Puang Palopo (Syech Besar Tarekat Khalwatiah Samman)/Putera dari La Mappangara Arung Sinri, Tumarilaleng Bone Matinroe ri Sessoe.

Thursday, February 2, 2012

KERAJAAN-KERAJAAN DI MAROS Bagian II


KERAJAAN MARUSU


Kerajaan Marusu merupakan Kerajaan tertua di Wilayah Maros, hanya dalam konteks ini Marusu tidak lagi dianggap sebagai Kerajaan yang dibentuk oleh Karaeng LoE ri Pakere sebab telah mengalami pergeseran wilayah yang teramat jauh demikian pula bentuk dan status pemerintahannya sangat berbeda dengan zaman Karaeng LoE ri Pakere dan pewarisnya yang berbentuk Kerajaan/Monarki absolut, tetapi Marusu disini adalah wilayah yang terbentuk sebagai Kerajaan Lokal, daerah protektorat Kerajaan Bone, pasca Perang Bone I kemudian selanjutnya menjadi Distrik Adat Gemenschap.

Pasca era KaraEng LoE ri Pakere, Marusu diperintah secara berurutan oleh :

1. La Mamma Daeng Marewa Tunibatta Matinroe ri Samanggi
2. La Tifu Daeng Mattana Matinroe ri Marusu
3. La Mappalewa Daeng Mattayang Matinroe ri Karaso
4. La Manyandari Daeng Paranreng Matinroe ri Campagae
5. La Mallawakkang Daeng Pawello Matinroe ri Kuri
6. La Surulla Daeng Palopo Tumenanga ri Bundu’na
7. I Mappasossong Daeng Pabundu Matinroe ri Kassikebo
8. I Pake Daeng Masiga Karaeng Ilanga Matinroa ri Masigi’na
9. Haji Abdul Hafid Daeng Ma’ronrong
10. Muhammad Tajuddin Daeng Masiga

Daerah-daerah yang menjadi wilayah hukum Marusu adalah melingkupi 34 kampung, yaitu Taipa, Baru-baru, Kaemba, Pampangan, Kanjitongang, Jawi-jawi, Kampala, Barambang, Allu, Kaluku, Manrimisi Marusu, Kuri Lompo, Kassikebo, Betang, Bentang, Marusu, Data, Palisi, Bontobiraeng, Bontomanai, Patte’ne, Pangkaje’ne, Lekoala, Tekolabbua, Matana, Bulu-bulu, Kalli-kalli, Mannuruki, Mambue, Bontokappong, Batiling, Leppakkomai, Mannaungi dan Satanggi

Pada tahun 1963 Marusu bersama Turikale, Lau dan Bontoa dilebur dengan nama Kecamatan Maros Baru, dengan Camat I ialah Muhammad Tajuddin Daeng Masiga Karaeng Marusu.



KERAJAAN BONTOA


Pada awalnya Bontoa bernama Tanetea setelah berdiri sebagai sebuah daerah berpemerintahan adat maka namanya diubah menjadi Bontoa.

Bontoa dibuka pertama kali oleh I Manjarrang, putera Karaeng Labbua Tali Bannanna Bangkala. I Manjarrang diperintahkan membuka perkampungan di Bontoa setelah mempersunting puteri Raja Gowa untuk dijadikan pemukiman bersama keluarga dan para pengikutnya.

Urut-urutan raja yang memerintah Bontoa sejak berdirinya hingga tahun 1963 adalah sebagai berikut :

1. I Manjarrang
2. I Manjuwarang
3. I Daeng Siutte
4. I Daeng Manguntungi
5. I Pakandi Daeng Massuro
6. I Pandima Daeng Malliongi
7. I Daeng Tumani
8. I Mangngaweang Daeng Mangalle
9. I Rego Daeng Mattiro
10. I Parewa Daeng Mamala
11. I Sondong Daeng Mattayang
12. I Bausa Daeng Sitaba Karaeng Tallasa
13. I Bambo Daeng Matekko Sullewatang Lau
14. I Radja Daeng Manai
15. Abdul Maula Intje Jalaluddin
16. I Radja Daeng Manai (ke-2 kalinya)
17. Andi Mamma Daeng Sisila
18. Andi Djipang Daeng Mambani
19. Haji Andi Mamma Daeng Sisila (ke-2 kalinya)
20. Andi Djipang Daeng Mambani (ke-2 kalinya)
21. Haji Andi Radja Daeng Nai Karaeng Loloa
22. Haji Andi Muhammad Yusuf Daeng Mangngawing

Wilayah hukum Bontoa melingkupi 16 kampung daerah pesisir pantai, sebelah Utara Marusu, yaitu Bontoa, Salenrang, Sikapaya, Balosi, Parasangang Beru, Panaikang, Batunapara, Tangnga Parang, Lempangang, Panjallingang, Ujung Bulu, Belang-belang, Suli-suli, Pannambungan, Mangemba dan Tala’mangape.


KERAJAAN LAU’


Lau' pada awalnya adalah sebuah daerah Kasullewatangan (kesultanan) yang dibentuk dalam tahun 1824 ketika pasukan Bone berhasil diusir dari wilayah Maros, oleh pemerintah Gubernemen membentuk empat daerah Kasullewatangan yaitu Lau’, Wara, Raya dan Timboro.

Yang menjadi Sullewatang Lau’ pertama adalah La Mattotorang PagelipuE Abdul Wahab Daeng Mamangung, putera dari La Mauraga Sultan Adam Datu Mario ri Wawo dari istri bernama Ince Jauhar Manikam I Denra Petta WaliE puteri dari Ince Abi Asdollah Dato’ Pabean, Bendahara Kerajaan Gowa.

Selanjutnya La Mattotorang Daeng Mamangung diangkat menjadi Regent/Karaeng Lau’ pertama ketika seluruh daerah pemerintahan adat di Maros dibentuk menjadi Regentschappen. Ketika wafat La Mattotorang Daeng Mamangung dimakamkan di Laleng Tedong sehingga diberi gelar anumerta Matinroe ri Laleng Tedong.

Urut-urutan raja yang memerintah Lau’ adalah sebagai berikut :

1. La Mattotorang Daeng Mamangung Matinroe ri Laleng Tedong
2. La Tenrowang Daeng Pasampa Matinroe ri Manrimisi
3. La Rombo Muhammad Saleh Daeng Lullu Matinroe ri Kassikebo
4. Andi Pappe Daeng Massikki
5. Andi Abdullah

Wilayah hukum Lau’ melingkupi 31 buah Kampung, yaitu Maccini Ayo, Lemo-lemo, Bontokadatto, Bontorea, Pute, Sampobia, Galaggara, Langkeang, Lopi-lopi, Tammate, Bulu’sipong, Tapieng, Pacelle, Pappandangang, Sengkalantang, Manrimisi Lau, Kalumpang, Balang-balang, Coppenge, Kacumpureng, Nipa, Jangka-jangkaE, Laleng Tedong, Campagae, Pandanga, Padaria, Binanga Sangkara, Mangara’bombang, Sabanga, Marana’ dan Kaddarobo’bo.


KERAJAAN TURIKALE


Wilayah Turikale pada awalnya hanya didiami segelintir manusia dengan cara hidup tidak menetap. Daerahnya pun masih merupakan hutan-hutan dan daerah persawahan. Sungai Maros melintas ditengahnya. Setelah Karaeng LoE ri Marusu (Raja Maros III) memindahkan pusat kerajaan dari Pakere ke Marusu, penduduk Pakere dan beberapa kampung di sekitarnya yang banyak penduduknya mulai berpindah mendekati pusat kerajaan yang baru membuka perkampungan dan pemukiman baru.

Putera Karaengta Barasa yang bernama Muhammad Yunus Daeng Pasabbi (Kare Yunusu), dikirim oleh ayahandanya mengikuti Pendidikan Tinggi Agama Islam di Bontoala. Dalam masa pendidikannya ia berkenalan dengan salah seorang putera Raja Tallo ( I Mappau’rangi Karaeng Boddia) yang bernama I Mappibare Daeng Mangiri. Persahabatan yang terjalin di antara mereka sangatlah akrab. Mereka berdua setiap ada kesempatan saling bertukar fikiran dan berdiskusi dalam banyak hal, baik menyangkut ketatanegaraan terlebih lagi ikhwal Agama Islam.

Setelah Karaengta Barasa mangkat, Muhammad Yunus Daeng Pasabbi naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Raja Maros VIII.
Di masa pemerintahannya, beliau kemudian mengajaknya sahabatnya I Mappibare Daaeng Mangiri untuk menetap di Maros untuk bersama-sama memajukan agama Islam.

I Mappibare Daeng Mangiri ternyata tidak keberatan lalu menetaplah Ia di Maros dan kepadanya diberikan wilayah ini sebagai wilayah yang dikuasainya sekaligus sebagai tempat I Mappibare Daeng Mangiri melaksanakan kegiatan pengembangan Ilmu Agama Islam.
Perkampungan yang diberikan kepadanya itu diberi nama TURIKALE artinya Kerabat Dekat, untuk memberikan pertanda bahwa I Mappibare Daeng Mangiri yang diberi kuasa menempatinya adalah kerabat keluarga yang sangat akrab.

Maka jadilah Turikale yang tadinya sebuah perkampungan tidak bertuan menjadi wilayah yang teratur, sebab menjadi pusat pendidikan Agama Islam. Statusnya sebagai wilayah otorita pengembangan Islam tetap dipertahankan.
Turikale bukan sebagai wilayah hukum berpemerintahan melainkan kesannya lebih seperti sebuah daerah khusus istimewa.

I Mappibare Daeng Mangiri memperistrikan seorang puteri bangsawan Gowa bernama I Duppi Daeng Ma’lino dan setelah mangkat kepemimpinannya digantikan oleh puteranya bernama I Daeng Silassa.

I Daeng Silassa memperistrikan sanak keluarganya dari Gowa/Tallo yang bernama Habiba Daeng Matasa, yang melahirkan sepasang putera-puteri, yaitu I Lamo Daeng Ngiri dan I Tate Daeng Masiang.

I Lamo Daeng Ngiri ini sekitar tahun 1796 kemudian membuka babakan baru di Turikale setelah menjadikan Turikale tidak saja sebagai daerah pengembangan Agama Islam tetapi juga sebagai sebuah daerah berotonomi dan berpemerintahan sendiri. Hal ini tentu sangat memungkinkan bagi I Lamo Daeng Ngiri, sebab Turikale telah memiliki pengaruh yang sangat luas. Turikale kemudian diproklamirkan sebagai sebuah Kerajaan berpemerintahan sendiri yang lepas dari kekuasaan hukum kerajaan manapun juga.

Urut-urutan raja yang memerintah Turikale adalah:

1. I Lamo Daeng Ngiri (1796 - 1831)
2. Muhammad Yunus Daeng Mumang (1831 - 1859)
3. La Oemma Daeng Manrapi (1859 - 1872)
4. I Sanrima Daeng Parukka (1872 - 1882)
5. I Palaguna Daeng Marowa (1882 - 1817)
6. Andi Abdul Hamid Daeng Manessa (1917 - 1946)
7. Haji Andi Mapparessa Daeng Sitaba (1946 - 1959)
8. Andi Kamaruddin Syahban Daeng Mambani (1959 - 1963)

Wilayah-wilayah yang merupakan daerah hukum Turikale meliputi 43 kampung, yaitu Redaberu, Solojirang, Bontokapetta, Kasuwarang, Soreang, Bontocabu, Tambua, Kassijala, Pattalasang, Rea-rea, Manrimisi Turikale, Kuri Caddi, Sungguminasa, Data, Panaikang, Buttatoa, Tumalia, Baniaga, Maccopa, Kassi, Buloa, Sangieng (Tana Matoana Turikale), Pakalli, Bonti-bonti, Paranggi, Moncongbori, Mangngai, Manarang, Camba Jawa, Bunga Ejaya, Pa’jaiyang, Ammesangeng, Samariga, Leang-leang, Tompo’balang, Labuang, Karaso, Bonto Labbua, Tabbua, Balombong, Balanga, Tala’mangape dan Sanggalea.

Selanjutnya lahir Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 yang diberlakukan mulai tanggal 1 Juni 1963. Pada saat itu seluruh Kerajaan Lokal/Distrik Adat Gemenschaap termasuk Turikale dilebur. Turikale bersama dengan Marusu, Lau’ dan Bontoa dilebur menjadi sebuah kecamatan dengan nama Kecamatan Maros Baru.