Monday, February 20, 2012

Stratifikasi / Tingkatan Sosial Masyarakat Turikale


I. STRATIFIKASI SOSIAL


Masyarakat Turikale didiami oleh Suku Bugis-Makassar dan merupakan sebuah komunitas yang sulit untuk dipisahkan antara kedua suku yang mendiami, hal ini disebabkan karena kehidupan bermasyarakat sejak awal terbentuknya, didasari oleh pola hidup manusia beragama yang tidak membeda-bedakan asal keturunan secara tajam.

Namunpun demikian sebagai daerah berbudaya, stratifikasi sosial masyarakat tetap dihormati, dihargai dan dipelihara sesuai konsepsi budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan latar belakang asal usul masyarakat di Turikale, maka nampak bahwa aturan tentang tingkatan masyarakat tetap berpatokan pada aturan yang berlaku pada Kerajaan Bone dan Gowa, dua kerajaan yang memegang hegemoni politik pada saat itu, yang menjadi sumber leluhur para pendiri Turikale.

Dengan demikian di Turikale, pada kenyataannyapun masyarakatnya terbagi atas tiga tingkatan besar, yaitu :

1. Lapisan Bangsawan (Ana’arung/Ana’karaeng)
2. Lapisan Masyarakat Merdeka (To Maradeka/Tumaradeka)
3. Lapisan Hamba/Budak (Ata)

Lapisan di atas pada intinya masih memiliki klassifikasi kualitas yang sesuai dengan apa yang tercantum dalam Lontara Latoa, yaitu klassifikasi tingkatan pada masing-masing lapisan masyarakat. Hal ini penting terutama dalam persoalan suksesi pemerintahan dimana pemegang hak utama terdapat pada lapisan Bangsawan kelas tertinggi yang disebut Ana’pattola atau Ana’ti’no.

II. ASAL MUASAL STRATA BANGSAWAN


Kebangsawanan atau stratifikasi sosial lapisan atas dalam perjalanan sejarah Sulawesi Selatan ditemukan adanya dua sumber. Yang pertama, lapisan bangsawan yang berdasar pada sejarah keturunan leluhurnya menurut takaran adat istiadat, hal mana lapisan ini mulai dikenal sejak kedatangan Tomanurung, dan keturunan langsung Tomanurung inilah yang merupakan sebuah lapisan tersendiri yang disebut bangsawan. Yang kedua adalah faktor kondisi dan keadaan yang dipaksakan artinya menduduki lapisan sebagai bangsawan karena kedudukan yang diberikan oleh Belanda sebagai penjajah yang menguasai kebijakan politik.

Pada unsur yang pertama dapat diketahui dengan menelaah silsilah leluhurnya berdasarkan lontara panguriseng (lontara silsilah). Jika seseorang adalah keturunan Tomanurung dan dalam perkembangan keluarganya tetap menjaga aturan wari’ (stratifikasi sosial) maka orang tersebut dikatakan sebagai lapisan bangsawan asli. Di lain fihak meski adalah keturunan Tomanurung namun dalam proses perkembangannya tidak lagi menjaga aturan wari’ maka dikatakan kebangsawanan orang tersebut telah luntur (= tuasa, Bahasa Makassar, atau malawi’, Bahasa Bugis) dan stratifikasinya bergeser ke stratifikasi sosial yang lebih rendah.

Pada Unsur kedua adalah kebangsawanan yang bukan bersumber dari Tomanurung, tetapi merupakan bangsawan ciptaan Kolonial Belanda sebagai pemegang kekuasaan politik dalam masa penjajahan, sehingga seseorang karena diberi kedudukan oleh Belanda sebagai seorang raja ‘boneka’, menempatkannya pada strata kedudukan sosial yang tinggi dalam masyarakat hingga keturunannya. Dan ini merupakan bangsawan imitasi.

Pada saat sekarang kita dapat menelusuri atau menguji asal usul kebangsawanan seseorang dari tiga unsur, yaitu apakah bersumber dari Gowa, Luwu atau Bone. Selain itu Tokoh Sentral yang juga dapat menjadi tolok ukur pengujian adalah La Patau Matanna Tikka MalaE Sanra Nyili’na WalinonoE To Tenribali Sultan Alimuddin Idris Petta Matinroe ri Naga Uleng (Mangkau Bone XVI/Datu Soppeng XVII/Ranreng Tuwa Wajo). Sebab akibat politik perkawinan yang dijalankan oleh pamannya La Tenritatta Towappatunru Petta Malampe’e Gemme’na Arung Palakka Sultan Saaduddin (Raja Bone XV) terhadap dirinya, yaitu mengawinkan La Patau dengan I Mariama Karaeng Patukangang, puteri dari Raja Gowa XIX bernama I Mappadulung Daeng Mattimu Karaeng Sanrabone Sultan Abdul Jalil Tumenanga ri Lakiung dan kemudian La Patau dikawinkan lagi dengan We Ummung Datu Citta Arung Larompong, puteri dari Raja Luwu XVII bernama I Setiaraja Daeng Massuro Sultan Muhyiduddin Matinroe ri Tompo’tikka serta selanjutnya dengan sekian banyak puteri bangsawan/raja dari kerajaan lainnya di seantero Bugis-Makassar sehingga menyebabkan bangsawan/raja Bugis-Makassar memiliki kesamaan unsur leluhur, yaitu Bone, Gowa dan Luwu. Dengan demikian untuk menelusuri kebangsawanan seseorang atau sebuah rumpun keluarga adalah cukup dengan menggunakan tolok ukur atau parameter di atas, maka akan segera diketahui kebangsawanan mana yang relevan dengannya.

III. ASAL USUL BANGSAWAN TURIKALE


Pada sejarah terbentuknya Turikale diketahui bahwa yang membuka Wilayah Turikale adalah I Mappibare Daeng Mangiri putera dari I Mappau’rangi Karaeng Boddia Karaeng Tallo Sultan Sirajuddin Raja Gowa XXI/XXIII (1712 - 1724)/(1729 - 1735) dengan demikian keturunan I Mappibare adalah berdarah Gowa keturunan langsung Manurunga ri Taka’bassia (Somba Gowa I).

Selanjutnya seorang cucu I Mappibare Daeng Mangiri bernama I Tate Daeng Masiang diparistrikan oleh I Sulaimana Daeng Massikki Karaeng Simbang, putera dari I Baso

Daeng Ngitung Karaeng Simbang. La Baso Daeng Ngitung adalah putera dari La Rassang Karaeng Simbang, yang mana beliau ini adalah putera dari La Sengka Daeng Nimalo Karaeng Kanjilo Karaeng Simbang, putera dari La Palettei Daeng Magappa Karaeng Tope Eja Karaeng Sambu Eja, putera dari La Pallawagau Arung Palakka Karaenga ri Gowa. La Pallawagau adalah putera dari La Mappareppa Tosappewali Arung Palakka Karaeng Ana’moncong Sultan Ismail Tumenanga ri Somba Opu (Raja Gowa XX/Datu Soppeng XXII/Raja Bone XIX), putera dari La Patau Matanna Tikka dari istri I Mariama Karaeng Patukangang.

Ibunda dari La Rassang Karaeng Simbang (istri dari La Sengka Dg Nimalo Karaeng Simbang) bernama Besse Calulu adalah puteri dari La Makkasau Arung Palakka, putera dari La Pottokati Arung Ujung Datu Baringeng. La Pottokati adalah putera dari La Temmasonge Datu Baringeng Sultan Abdul Razak Jalaluddin Matinroe ri Malimongang (Raja Bone XXIII/Datu Soppeng XXV) yang mana beliau inipun putera dari La Patau Matanna Tikka dari istri We Ummung Datu Citta Arung Larompong.

Dengan mempelajari paparan silsilah di atas dapat diketahui dengan jelas untuk selanjutnya menarik sebuah kesimpulan bahwa Rumpun/wangsa/bangsawan Turikale adalah bangsawan keturunan Tellu BoccoE (Bone - Gowa - Luwu) dan bukanlah bangsawan imitasi buatan Belanda.

2 comments:

  1. Assalamu alaikum Wr. wb.
    Mohon Maaf sekedar memberi masukan,

    La Temmassonge Sultan Abdul Razak Jalaluddin, Raja Bone XXIII adalah putera dari La Patau Matanna Tikka Walinonoe To Tenribali MalaE Sanrang Sultan Idris Azimuddin MatinroE ri Nagauleng, Raja Bone XVI dari isteri keempatnya, yakni Arung Baringeng.

    Dari Isteri pertama, yakni We Ummung Arung Larompong, Baginda La Patau hanya dikaruniai 2 (dua) orang Puteri, yakni 1. We Batari Todja Sultanah Zaenab Raja Bone XVII & XXI/Datu Luwu XXIII/Datu Soppeng dan 2. We Patimana Ware' Arung Timurung/Arung Larompong

    Wassalamu Alaikum Wr. Wb.

    Muhammad Riza Mappangara

    ReplyDelete
  2. we sundari datu baringeng adalah isteri ke-3 dan ibu dari la temmassonge'

    ReplyDelete